Welcome To My Castle


Welcome To My Gratitude Journal

Yenni Triani and Her Life Story

About Me

My photo
Melbourne, Australia
I am a storyteller. A dreamer. A healer. A bibliophile who loves reading poetry, biography, memoirs and obituary. A passionate English Teacher. An LPDP Scholarship Awardee @MonashUniversityAustralia, A former voluntary teacher representing @IndonesiaMengajar in Fakfak, West Papua in 2014-2015. I want to build my own English School for my indigenous students in Fakfak, West Papua, someday. Inshaa Allah. It's going to be my masterpiece and my future legacy. Bismillah. #EnglishForPapua

Monday, May 25, 2015

The Dilemma; It's Almost June, It's Almost Goodbye


I’m gonna miss the sound of your laughter and all of your stories, and the way you make me fall in love with you, everyday... 
*** 

“Ibu, Sitria bilang katong pu kepala bokar O,” (Ibu Sitria bilang kalau kepala saya besar). Keluh Aldy mengadu kepada ku. Sitria adalah kakak perempuan Aldy yang sudah SMP. Kalau lagi kesal dengan ulah Aldy, Sitria akan menumpahkan kemarahannya dengan menjuluki Aldy sebagai “Si Kepala Besar”. 

Mendengar pengaduan ini, tawaku hampir saja meledak. Tapi kutahan sekuat tenaga, karena kulihat Aldy memang benar-benar menunjukkan wajah sedih akibat julukan itu. 

Kudekati dia, lalu aku duduk agar bisa menyamai tinggi tubuhnya. Sambil memegang kedua tangannya yang gempal, ku tatap matanya, lalu kukatakan; “Aldy, tara papa sudah Sitria bilang begitu. Tara usah marah e... Ibu pu kepala juga bokar O. Kepala bokar itu malah bagus O. Otak bokar jadi kepala bokar. Orang yang pu otak bokar itu pintar, makanya dong pu kepala bokar, macam Aldy ini. Nah, Aldy pu otak bokar, makanya Aldy pintar toh...makanya Aldy cepat belajar. Jadi, ko tara usah sedih e kalau Sitria bilang begitu. Ko ingat saja kalau kau itu anak pintar e...” (Aldy, tidak apa-apa Sitria bilang begitu. Tidak usah marah ya... Kepala Ibu juga besar kok. Kepala besar itu malah bagus. Otak besar jadi kepala besar. Orang yang mempunyai otak besar itu pintar, makanya kepalanya besar pula, seperti Aldy ini. Nah, otak Aldy besar, makanya Aldy pintar toh...makanya Aldy cepat belajar. Jadi, kamu tidak usah sedih ya kalau Sitria bilang begitu. Kamu ingat saja kalau kamu itu anak pintar ya.) Jelasku panjang lebar. Mendengar itu, Aldy tersenyum sambil menunjukkan gigi putihnya yang rapi. I guess he got the point. 

Tak lama, si Anak pintar satu ini, kembali memulai lagi celotehnya. 

“Ibu, ko tara usah pulang di Jawa sudah e. Ibu tinggal di sini saja. Nanti, katong jadi tentara, katong dapat uang, katong bikin Ibu pu rumah di sini. Katong bikin Ibu pu rumah tingkat, dengan kamar tingkat. Katong bikin Ibu pu rumah besar O. Katong bikin Ibu pu rumah di air garam sebelah sana, baku dekat dengan masjid...” (Ibu, kamu jangan pulang ke Jawa ya. Ibu tinggal di sini saja. Nanti, saya jadi tentara, lalu saya punya uang. Kalau sudah punya uang, saya akan bangun sebuah rumah untuk Ibu. Rumah bertingkat dengan kamar yang bertingkat juga. Rumahnya besar. Saya bangun rumah untuk Ibu di laut sebelah sana, dekat dengan masjid). Jelas Aldy sambil menunjuk ke arah masjid yang terlihat kecil jauh di sana. 

Mataku terpaku melihat ke arah yang ditunjuk Aldy dengan jari telunjuk kecilnya itu. Masjid kecil bercat putih di laut sebelah sana mengingatkanku akan hari-hari ajaib yang telah kuhabiskan bersama anak-anakku selama hampir satu tahun ini. Pikiranku menerawang... 
Dan kali ini tak ada kata yang bisa kuucapkan untuknya. 

I’m speechless. 
How could he say that? Where did he get such idea? 
How could this little baby boy come up with something so big, as big as that? 
He wants to build a house to shelter me, to make me stay, to be there with him. 

Words failed. 

Belakangan ini Aldy semakin manis kepadaku. He treats me so nicely. Dengan kaki pendek balitanya, dia sering berjalan kaki, sendiri mendaki bukit untuk menjemputku di sekolah. Sepulang dari PAUD, setelah meminta izin kepada mamanya, anak laki-laki berumur 4 tahun ini menempuh jarak sejauh ratusan meter hanya untuk menemuiku di sekolah. Dia berjalan dari pangkal kampung (rumahnya) hingga ujung kampung. Aku sering kaget mendapatinya di sekolahku tanpa mamanya. Untungnya di sepanjang jalan menuju sekolah ada banyak rumah dan semua warga kampung telah mengenal bocah kecil yang hobi bicara ini. Makanya dia aman saja menempuh perjalanan menuju sekolahku itu. Kondisi ini pula yang menyebabkan mamanya tidak pernah melarang Aldy untuk menjemputku pulang sekolah. 

Di akhir-akhir masa tugasku di sini, Aldy semakin intens mengikutiku kemana pun aku pergi. Dia menjadi ekor permanenku. Mamanya bilang dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersamaku sebelum aku pulang ke Jawa. Bahkan, di suatu pagi, dia pernah berkata kepadaku; “Ibu, abis Ibu su pulang di Jawa. Kalau katong su besar, katong pi di Jawa O, susul Ibu. Katong cari Ibu di Jawa sana.” (Ibu, kalau Ibu sudah pulang ke Jawa dan saya sudah besar, saya akan menyusul Ibu, mencari Ibu di Jawa sana). Sebuah pernyataan yang membuat hatiku ngilu mendengarnya.

All these final days, “this little baby boy” consistently tries to convince me that I’m still so much “wanted” and “needed” here. 



I feel so overwhelmed... 
I’m so confused. 
What should I say, what should I do?

Total of Views

Thank You For Visiting Me