Welcome To My Castle


Welcome To My Gratitude Journal

Yenni Triani and Her Life Story

About Me

My photo
Melbourne, Australia
I am a storyteller. A dreamer. A healer. A bibliophile who loves reading poetry, biography, memoirs and obituary. A passionate English Teacher. An LPDP Scholarship Awardee @MonashUniversityAustralia, A former voluntary teacher representing @IndonesiaMengajar in Fakfak, West Papua in 2014-2015. I want to build my own English School for my indigenous students in Fakfak, West Papua, someday. Inshaa Allah. It's going to be my masterpiece and my future legacy. Bismillah. #EnglishForPapua

Saturday, November 14, 2015

My Vision on Passion: My Future Legacy For My Children in Fakfak, West Papua

It always breaks my heart to its very core, 
whenever I remember that I've left my children this far, this long. 

It's been months since the last time I saw them in Fakfak, West Papua. 
I've always been missing them, their warm hugs, their noisy laughter, and of course their innocent, genuine unconditional love.
I remember. 
I made a promise to them at the farewell. 
Saying that I would come back again for them, to that corner of Papua someday in the future.

Inshaa Allah...
God knows I mean it.

And, when I come back to them, years later in the future. Inshaa Allah, this time around, I hope I will be able to provide them with better knowledge, better teaching methods, and of course better intellectual and financial supports, as well. 
I aim to build a high quality "English School" for my Papuan children living in Fakfak, West Papua, someday in the future. Because I dream of seeing all of my Papuan kids posses the ability to speak English fluently. 
I want them to be well armed to win the battle of this globalized world. 

I want them to have the equal opportunity to reach the best things life can offer. 

I want them to go far in life with their dreams, travel the world, be seen, be heard, be successful, so in turn they will have whatever it takes to build their own villages and their homeland in the future.
For these reasons, I'm now upgrading my English Teaching skills in Jakarta. 
I learn from the experts and take chances to practice what I've learned, whenever possible. 

I teach any level of English programs assigned to me. 
Sometimes I teach children, other times I teach professionals in business classes. Even though, I prefer teaching children, obviously.
I want to gain any kind of English teaching experiences. 
I'm learning by doing. 
I'm learning by teaching. 
I'm growing. 

Yes, I'm preparing myself for becoming a better English Teacher for my children in Fakfak, West Papua in the future. 
I also aim to obtain a Master's Degree in English Teaching, TESOL. 
I want to be An Expert of English Teaching in the future for my Papuan children. 
I pray may Allah SWT give His Blessings to me so that I can reach this dream. 

And, as for now, 
I just need to keep striving. 
Keep working hard. 
Keep praying. 
Until one day, Inshaa Allah, my dream really does come true. I can't wait to finally be able to build my own "English School" for all of my children in Fakfak, my second home. I hope it will happen soon.
Aamiin ya Allah, Ya Robbal 'Alamiin...

Sampai ketemu lagi anak-anakku,

Inshaa Allah.
Semoga Tuhan meridhoi...

Sekarang, izinkan Mama Ibu untuk belajar, kerja, dan bersiap-siap dulu ya...
I will always love you.



#MyBiggestDreamInLife
#MyFutureCareerGoal
#CreatingMyFutureLegacy

Monday, May 25, 2015

The Dilemma; It's Almost June, It's Almost Goodbye


I’m gonna miss the sound of your laughter and all of your stories, and the way you make me fall in love with you, everyday... 
*** 

“Ibu, Sitria bilang katong pu kepala bokar O,” (Ibu Sitria bilang kalau kepala saya besar). Keluh Aldy mengadu kepada ku. Sitria adalah kakak perempuan Aldy yang sudah SMP. Kalau lagi kesal dengan ulah Aldy, Sitria akan menumpahkan kemarahannya dengan menjuluki Aldy sebagai “Si Kepala Besar”. 

Mendengar pengaduan ini, tawaku hampir saja meledak. Tapi kutahan sekuat tenaga, karena kulihat Aldy memang benar-benar menunjukkan wajah sedih akibat julukan itu. 

Kudekati dia, lalu aku duduk agar bisa menyamai tinggi tubuhnya. Sambil memegang kedua tangannya yang gempal, ku tatap matanya, lalu kukatakan; “Aldy, tara papa sudah Sitria bilang begitu. Tara usah marah e... Ibu pu kepala juga bokar O. Kepala bokar itu malah bagus O. Otak bokar jadi kepala bokar. Orang yang pu otak bokar itu pintar, makanya dong pu kepala bokar, macam Aldy ini. Nah, Aldy pu otak bokar, makanya Aldy pintar toh...makanya Aldy cepat belajar. Jadi, ko tara usah sedih e kalau Sitria bilang begitu. Ko ingat saja kalau kau itu anak pintar e...” (Aldy, tidak apa-apa Sitria bilang begitu. Tidak usah marah ya... Kepala Ibu juga besar kok. Kepala besar itu malah bagus. Otak besar jadi kepala besar. Orang yang mempunyai otak besar itu pintar, makanya kepalanya besar pula, seperti Aldy ini. Nah, otak Aldy besar, makanya Aldy pintar toh...makanya Aldy cepat belajar. Jadi, kamu tidak usah sedih ya kalau Sitria bilang begitu. Kamu ingat saja kalau kamu itu anak pintar ya.) Jelasku panjang lebar. Mendengar itu, Aldy tersenyum sambil menunjukkan gigi putihnya yang rapi. I guess he got the point. 

Tak lama, si Anak pintar satu ini, kembali memulai lagi celotehnya. 

“Ibu, ko tara usah pulang di Jawa sudah e. Ibu tinggal di sini saja. Nanti, katong jadi tentara, katong dapat uang, katong bikin Ibu pu rumah di sini. Katong bikin Ibu pu rumah tingkat, dengan kamar tingkat. Katong bikin Ibu pu rumah besar O. Katong bikin Ibu pu rumah di air garam sebelah sana, baku dekat dengan masjid...” (Ibu, kamu jangan pulang ke Jawa ya. Ibu tinggal di sini saja. Nanti, saya jadi tentara, lalu saya punya uang. Kalau sudah punya uang, saya akan bangun sebuah rumah untuk Ibu. Rumah bertingkat dengan kamar yang bertingkat juga. Rumahnya besar. Saya bangun rumah untuk Ibu di laut sebelah sana, dekat dengan masjid). Jelas Aldy sambil menunjuk ke arah masjid yang terlihat kecil jauh di sana. 

Mataku terpaku melihat ke arah yang ditunjuk Aldy dengan jari telunjuk kecilnya itu. Masjid kecil bercat putih di laut sebelah sana mengingatkanku akan hari-hari ajaib yang telah kuhabiskan bersama anak-anakku selama hampir satu tahun ini. Pikiranku menerawang... 
Dan kali ini tak ada kata yang bisa kuucapkan untuknya. 

I’m speechless. 
How could he say that? Where did he get such idea? 
How could this little baby boy come up with something so big, as big as that? 
He wants to build a house to shelter me, to make me stay, to be there with him. 

Words failed. 

Belakangan ini Aldy semakin manis kepadaku. He treats me so nicely. Dengan kaki pendek balitanya, dia sering berjalan kaki, sendiri mendaki bukit untuk menjemputku di sekolah. Sepulang dari PAUD, setelah meminta izin kepada mamanya, anak laki-laki berumur 4 tahun ini menempuh jarak sejauh ratusan meter hanya untuk menemuiku di sekolah. Dia berjalan dari pangkal kampung (rumahnya) hingga ujung kampung. Aku sering kaget mendapatinya di sekolahku tanpa mamanya. Untungnya di sepanjang jalan menuju sekolah ada banyak rumah dan semua warga kampung telah mengenal bocah kecil yang hobi bicara ini. Makanya dia aman saja menempuh perjalanan menuju sekolahku itu. Kondisi ini pula yang menyebabkan mamanya tidak pernah melarang Aldy untuk menjemputku pulang sekolah. 

Di akhir-akhir masa tugasku di sini, Aldy semakin intens mengikutiku kemana pun aku pergi. Dia menjadi ekor permanenku. Mamanya bilang dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersamaku sebelum aku pulang ke Jawa. Bahkan, di suatu pagi, dia pernah berkata kepadaku; “Ibu, abis Ibu su pulang di Jawa. Kalau katong su besar, katong pi di Jawa O, susul Ibu. Katong cari Ibu di Jawa sana.” (Ibu, kalau Ibu sudah pulang ke Jawa dan saya sudah besar, saya akan menyusul Ibu, mencari Ibu di Jawa sana). Sebuah pernyataan yang membuat hatiku ngilu mendengarnya.

All these final days, “this little baby boy” consistently tries to convince me that I’m still so much “wanted” and “needed” here. 



I feel so overwhelmed... 
I’m so confused. 
What should I say, what should I do?

Monday, March 30, 2015

Menjelajahi Indonesia dengan Perahu Kertas

Kali ini, aku mengajak anak-anakku membuat perahu kertas. Perahu kertas warna-warni lengkap dengan benderanya. Namun bukan untuk dilarung ke laut. Sebab, aku tahu perahu kertas mereka tidak akan survive lama, bahkan tidak dalam hitungan menit, jika dilarung ke laut. Terpaan ombak laut teluk, di musim barat ini akan menelan karya ringkih mereka itu, sebelum sempat berlabuh ke mana-mana. Bahkan, sebelum mereka puas menikmati perahu kertas itu mengapung, kuyakin air laut sudah keburu menelannya, dalam sekejap saja. Padahal, untuk memproduksi perahu kertas itu, mereka telah menghabiskan waktu satu jam pelajaran. Itulah mengapa kukatakan pada anak-anakku, bahwa tidak ada prosesi pelarungan perahu kertas, setidaknya untuk kali ini. 

Aku tidak ingin perahu kertas ini hanya menjadi mainan semata. Lebih dari itu, dengan kapasitas imajinasi anak-anakku yang berlimpah, aku 
ingin mereka melampaui tembok sekolah kami. Melampaui kampung kami, keluar dari perangkap hutan ini. Aku ingin mengajak mereka keluar, jauh dari kungkungan keterbatasan dan ketertinggalan ini. Pergi jauh, bertualang, mengarungi lautan luas, menjelajahi Indonesia, untuk kemudian menuju kota impian mereka. Dan, perahu kertas itulah yang akan berlayar bersama mereka menuju ke sana. Perahu kertas itu akan membawa mereka menjelajahi Indonesia, menemukan kota impian mereka, di atas peta. Untuk kesekian kalinya kuajari anak-anakku untuk bermimpi. Tapi kali ini, bermimpi sambil belajar peta Indonesia, sebuah pelajaran yang nampak membosankan bagi mereka sebelumnya. 

“Nak, ko liat ini e. Ini ibu pu kota kelahiran, ibu lahir di sini O. Dia pu nama kota Palembang. Ko su tau toh ibu lahir di kota ini. Ibu su pernah bilang toh. Nah, sekarang ibu tanya, Palembang itu, ibu kota dari provinsi apa?” Tanyaku sambil menunjuk ke satu titik di peta Indonesia. Anak-anakku mendengarkan sambil memperhatikan peta yang terhampar di lantai. Kami semua duduk melingkar, lesehan. 

“Sumatera Selatan, Ibu.” Jawab Mawada 

“Wah, pintar e. Mawada benar. Hebat Mawada su tau e.” Pujiku pada Mawada sambil mengacungkan kedua jempol. Mawada tersenyum malu. 

“Nah, sekarang, kamong semua dengar ibu e. Ibu mau cerita, tentang pengalaman ibu menjelajahi kota-kota impian ibu. Kota impian ibu yang pertama adalah Jakarta. Jadi, waktu ibu kecil, masih SD macam kamong semua ini toh, Ibu tinggal di kota Palembang. Baru, ibu suka nonton TV. Ibu liat di siaran TV tentang kota Jakarta. Ibu liat kota Jakarta itu besar e, banyak gedung tinggi, banyak sekolah bagus-bagus. Baru, ibu bilang ke ibu pu mama, kalau nanti ibu su besar, ibu mau kuliah di Jakarta O, biar jadi sarjana. Ibu pu mama bilang, bisa saja ibu pi kuliah di Jakarta, asal ibu jadi anak yang pintar. Kalau pintar, nanti dapat beasiswa, bisa kuliah gratis di Jakarta. Jadi, sejak itu, ibu belajar baik-baik walaupun ibu masih SD. Abis itu, ibu berdoa pada Tuhan biar Tuhan tolong ibu untuk bisa pi kuliah di Jakarta. Kamong tahu Jakarta itu letaknya di Pulau apa, Nak?” 

“Jawa...” Jawab anak-anakku serentak. 

“Betul sekali. Baru, mana dia pulau Jawa, pulau tempat Ibu mau kuliah itu?” tanyaku lagi. 

Anak-anakku berebut mencari Pulau Jawa di peta. Hingga tak seberapa lama mereka menemukannya. Lalu kulanjutkan ceritaku. 

“Nah, ternyata, setelah ibu besar, ibu benar-benar pi Jawa. Ibu pi kuliah di Jakarta O. Alhamdulillah, karena ibu rajin belajar, rajin sekolah, dan rajin berdoa, jadi ibu dapat beasiswa untuk kuliah di Jakarta. Jadi, dengan beasiswa itu, ibu pu biaya kuliah dibayar oleh pemerintah. Ibu tidak usah bayar sendiri. Ibu pu Mama sama ibu pu Bapa senang sekali. Jadi, dong dua (mereka berdua) kasih ijin ibu buat pi Jawa. Baru, habis itu, dari Palembang, ibu langsung pindah ke Jawa.” Jelasku kepada anak-anakku sambil menggerakkan perahu kertasku di atas peta. Kupindahkan dia dari titik kota Palembang di Pulau Sumatera, menuju titik Jakarta di Pulau Jawa. 

“Jauh juga e, Ibu. Ibu su pi di dua pulau besar O,” Fasril berkomentar. 

“Iyo, itu sudah toh. Tapi itu belum jauh, Nak. Masih ada yang lebih jauh lai. Baru, setelah ibu jadi Sarjana di Jawa. Ibu bercita-cita mau jadi guru di Papua. Jadi, kota impian ibu yang kedua adalah kota di Papua. Dan, Alhamdulillah, Tuhan kasih ijin ibu untuk ke Papua. Jadi, dari Jawa, ibu pindah ke Fakfak, di Papua ini toh. Sampe akhirnya ibu ketemu kamong semua ini toh. Ibu pu anak-anak sayang ini e...” 

Kamong liat toh, ibu su pi jauh saja, dari Sumatera ke Jawa, dari Jawa pi sampeee di Papua...,” Jelasku yang disambut dengan senyum mereka. Anak-anakku memandang takjub ketika kupindahkan perahu kertasku dari titik Jakarta ke salah satu titik di Papua, kota Fakfak, sebuah titik yang sangat jauh dari Jakarta. 

“Nah, ko su liat toh, ibu su bisa pi di ibu pu kota-kota impian. Kota-kota impian ibu itu jauh dari ibu pu rumah di Palembang toh. Tapi ibu su bisa sampai. Bahkan ibu yang berasal dari Palembang ini, bisa pi di Papua, ketemu kamong semua. Jadi, kalo ibu bisa pi di Papua, berarti kamong juga bisa sampai di Sumatera, di ibu pu rumah O. Dan yang paling penting, kalo ibu bisa sekolah di Jawa, berarti kamong semua juga bisa sekolah di Jawa. Mau sekolah di Jawa, Nak?” 

“Mau...” jawab mereka serentak. 

“Makanya, kamong harus belajar baik-baik e, rajin sekolah, dan rajin berdoa sama Tuhan. Tuhan pasti dengar doa-doa ibu pu anak-anak baik ini O.” 

“Nah, sekarang, angkat ko pu perahu kertas masing-masing. Kemudian, bawa dia pi berlayar ke ko pu kota-kota impian.” 

“Ko bayangkan, ko ada di dalam perahu kertas itu toh. Baru kemudian, ko dayung dia sampe keliling Indonesia. Cari ko pu kota impian sendiri, Nak. Ko pu kota impian itu tidak harus di Pulau Jawa atau Sumatera, Nak. Ko bisa pi di Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan, bahkan di Papua juga boleh. Papua itu luas Nak, ko liat toh dia pu gambar di peta saja besar, apa lagi aslinya."

“Ayo sekarang cari ko pu kota-kota impian!” perintahku kemudian. 

Lalu, anak-anakku berebut menjalankan perahu kertas mereka yang sudah diberi nama masing-masing itu. Mereka bersemangat melayarkan perahu kertas mereka di atas sebidang peta usang berdebu itu. Anak-anakku begitu antusias menjelajahi seantero peta. Sepertinya, mereka benar-benar membayangkan bahwa mereka sedang berada di dalam perahu kertas mereka masing-masing. Mereka menghayati skenario bahwa mereka sedang benar-benar mendayung perahu kertas itu, menjelajahi Indonesia untuk menemukan kota impian mereka. Persis, seperti yang telah aku instruksikan sebelumnya. 

Maka tak mengherankan, apabila kemudian dapat kutangkap raut wajah bahagia dan bangga mereka, manakala berhasil melabuhkan perahu kertas mereka di satu titik yang kami sebut sebagai “kota impian” itu. Sejenak aku merinding melihat semangat mereka menuju ke tempat impian mereka masing-masing. Hari itu, semua anakku telah menemukan kota impian mereka. Bahkan banyak dari mereka yang memiliki lebih dari satu kota impian. 

“Ibu, katong mau pi di Makassar dan Jakarta”, kata Fasril. 

“Katong mau pi di Surabaya dan Palembang”, Seru Sarkia. 

“Katong mau pi di Banda Aceh dan Medan”, Teriak Asmin. 

Itulah jawaban-jawaban penuh percaya diri dari anak-anakku ketika kutanya; “Nak, ko pi mana?” (Nak, kamu mau pergi ke mana?) 

Memang, hari ini kota-kota itu baru bisa mereka jangkau di atas peta saja. Tapi kelak, kuyakin Tuhan akan mengantar anak-anakku ke kota-kota impian mereka masing-masing. Seperti Tuhan yang telah mengantarku ke sini, kepada mereka. Aku percaya... 

Dan, tak terasa anak-anakku sedikit demi sedikit sudah hapal wajah peta Indonesia sekarang. Tanpa mereka sadari, mereka sudah belajar menghapal peta Indonesia, pelajaran yang selama ini terasa membosankan bagi mereka. Kali ini, perahu-perahu kertas warna-warni itu, benar-benar telah membawa anak-anakku menjelajahi Indonesia dengan penuh semangat. Aku tak pernah menyangka, bahkan sebuah perahu kertas pun bisa sangat berjasa. 



-Yenni Triani- Pengajar Muda VIII Kab. Fakfak, Papua Barat (When Paper Boats Taking My Kids To Their Dream Cities)


Monday, January 26, 2015

Mimpi Seorang Anak Pemecah Batu

Sore itu, sepulang sekolah, tanpa berganti baju terlebih dahulu, kuputuskan untuk menghabiskan waktu bersama Aldy. Aldy, anak PAUD-ku yang baru berusia 4 tahun, adalah teman mendayungku di beberapa sore terakhir ini. Kujemput dia dan dia segera lompat ke dalam perahu. Aldy always acts as a fearless kid, dia selalu begitu. Masih kuingat di bulan pertama aku di sini, aku sempat membawanya ke puskesmas saat kepalanya bocor membentur batu. Saat itu, aku panik bukan main melihat luka menganga di kepalanya. Segera kularikan dia ke puskesmas di kampung Degen, kampung seberang laut.

Melihat luka Aldy yang cukup parah, dokter memutuskan untuk menjahitnya. Aku ngilu menyaksikan proses jahit-menjahit ini, tapi Si Kecil Aldy malah terbaring tenang sambil mengunyah gula-gula yang aku berikan padanya. Dia tidak menangis, sama sekali. Bahkan, tak lama kemudian dia tertidur lelap, sementara dokter sibuk menjahit luka di kepalanya. Ya, itulah Aldy, dia hanya menangis ketika lapar. 

Dan sekarang, aku dan dia berada di perahu yang sama, kita berdayung berkeliling kampung. Aldy looks so happy. 

“Aldy, ko ikut ibu pi Jawa sudah. Ko mau toh?” (Aldy, kamu ikut Ibu pergi ke Jawa ya. Kamu mau kan?) 

“Iyo Ibu, katong mau. Tapi, ibu kasih kembali katong di Offie lai O. Kalo Ibu tara kasih katong pulang, katong pi toki batu. Katong dapat uang, katong pulang di Offie sendiri O.” (Iya Ibu,saya mau. Tapi, nanti ibu antar saya pulang ke kampung Offie lagi ya. Kalau Ibu tidak antar saya pulang, nanti saya pergi memecah batu. (Dari hasil memecah batu) nanti saya punya uang, terus saya bisa pulang sendiri ke kampung Offie, deh.) 

Toki batu atau memecah batu adalah pekerjaan musiman yang sering dilakoni oleh anak-anakku ketika ada proyek pembangunan jalan di kampung. Sebenarnya, ini seharusnya menjadi pekerjaan para orangtua mereka saja. Tetapi karena anak-anakku adalah anak-anak kuat, mandiri, dan senang bekerja membantu orangtua mereka, jadi mereka turut serta melakoni pekerjaan ini. Hampir semua anak, bahkan Aldy yang baru berumur 4 tahun pun ikut terlibat dalam hiruk pikuk memecah batu ini, tanpa paksaan. Anak-anakku menyukai pekerjaan ini, mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang menyenangkan layaknya permainan, dan permainan satu ini bahkan lebih menyenangkan karena menghasilkan uang. Dan Aldy sudah menyaksikan sendiri rupiah-rupiah yang kakak dan orangtuanya kumpulkan dari upah memecah batu. 

Percakapan dengan Aldy di sore itu begitu berkesan bagiku. Aku masih tak percaya, anakku yang baru berusia 4 tahun sudah paham sebuah konsep yang begitu dewasa; bahwa untuk menghasilkan uang dia harus bekerja, meski harus memecah batu. 

“Ko mau toki batu di Jawa buat dapat uang, Nak? Tara bisa mo. Orang Jawa tara toki batu, Nak. Dorang cari uang itu, jadi dokter, polisi, guru, tentara. Dorang sekolah baik-baik, jadi dorang mudah dapat uang. Aldy harus sekolah baik-baik e, jadi mudah dapat uang, tara usah toki batu O.” (Kamu mau memecah batu di Jawa untuk dapat uang, Nak? Tidak bisa lah. Orang Jawa tidak memecah batu, Nak. Mereka di Jawa cari uang dengan menjadi dokter, polisi, guru, tentara. Mereka sekolah dengan baik, jadi mudah mendapatkan uang. Jadi, Aldy harus sekolah baik-baik ya, biar nanti mudah menghasilkan uang, tidak perlu memecah batu”. 

“Iyo, Ibu, nanti katong jadi tentara sudah. Katong toki batu, katong dapat uang, katong jadi tentara”. (Iya, Ibu, nanti saya jadi tentara saja. Saya memecah batu, nanti saya dapat uang, saya jadi tentara). 

Aldy, Aldy...bahkan dia sudah tahu bahwa untuk mewujudkan cita-citanya menjadi tentara dia butuh biaya. Dan untuk membayar biaya menjadi tentara tersebut dia harus mencari uang. Dan memecah batu adalah satu-satunya profesi yang dia tahu untuk mencari uang saat ini.

Sore itu, Aldy kembali mengingatkan ku akan kerasnya hidup yang dijalani oleh anak-anakku di kampung ini, bahkan untuk mewujudkan cita-cita mereka. Belatarbelakang dari keluarga petani pala, yang seringkali memecah batu untuk makan, membuat mereka sadar betul bahwa hidup itu butuh perjuangan. Tidak ada yang instan. 

Tetapi aku yakin sekali bahwa kerasnya hidup tidak akan pernah bisa mengalahkan semangat mereka untuk berani bercita-cita dan menggapainya. Buktinya, bahkan Aldy kecilku pun sudah siap untuk bekerja keras demi mewujudkan cita-citanya, meski harus memecah batu... 

Aku percaya mimpi anak-anakku lebih keras dari batu manapun. Tidak akan ada yang bisa memecah mimpi dari anak-anak pemecah batu. Batu saja pecah, apalagi rintangan lainnya. 




Yenni Triani-Pengajar Muda Fakfak- 
(When I Believe Aldy’s Dream is Harder Than Any Rock).


Total of Views

Thank You For Visiting Me