Welcome To My Castle


Welcome To My Gratitude Journal

Yenni Triani and Her Life Story

About Me

My photo
Melbourne, Australia
I am a storyteller. A dreamer. A healer. A bibliophile who loves reading poetry, biography, memoirs and obituary. A passionate English Teacher. An LPDP Scholarship Awardee @MonashUniversityAustralia, A former voluntary teacher representing @IndonesiaMengajar in Fakfak, West Papua in 2014-2015. I want to build my own English School for my indigenous students in Fakfak, West Papua, someday. Inshaa Allah. It's going to be my masterpiece and my future legacy. Bismillah. #EnglishForPapua

Sunday, September 21, 2014

Ibu Guru, Mesjid, dan Anak-Anak Kampung Offie

Ini cerita tentang seorang ibu guru, ibu guru dari Jakarta. Ibu guru ini mengenakan jilbab cukup panjang, sehingga jika dinilai dari tampilan luarnya, harusnya dia cukup proper untuk didaulat sebagai “Guru Mengaji” bagi anak-anaknya.

Ibu guru ini ditugaskan di sebuah Kampung Islam, Kampung Offie namanya, di sebuah sudut pedalaman tanah Papua. Sejak hari pertama dia diberitakan akan ditugaskan di kampung itu, dia sudah tahu bahwa selain menjadi guru di sekolah, dia pasti juga akan berperan sebagai “Guru Mengaji”. Tapi bukannya senang, Si Ibu Guru malah gentar. Dia merasa bahwa dia belum selayak itu untuk dinobatkan sebagai Guru Mengaji. Mengingat, ibu itu hanya sholat 5 waktu saja, dan itu pun jarang yang on time. Apalagi kecakapan ibu itu dalam mengaji juga jauh dari mumpuni. Bahkan tidak semua surat-surat pendek dalam Juz Amma dia hapal. Seingatnya, terakhir kali dia menghapal Juz Amma itu sudah lama sekali. Tepatnya ketika masih di TPA, belasan tahun lalu. Makanya sudah lupa. Itulah sebabnya ketika sholat, surat Al Ikhlas dan An Nas menjadi bacaan favoritnya. Nah sekarang, Si Ibu Guru jenis ini harus menjadi Guru Mengaji, what a catastrophy!

Namun, ketika tiba pertama kali di kampung penugasannya, hal pertama yang ibu guru itu cari adalah keberadaan mesjid. Tempat yang biasanya dijadikan pusat belajar Al Qur’an bagi anak-anak Kampung Offie, selain di TPA. Walaupun dengan berbagai keterbatasan pengetahuan keagamaannya, Ibu Guru ini bertekad bahwa dia akan mencoba menjalankan peran barunya sebagai Guru Mengaji dengan seoptimal mungkin. Semangatnya membara kala itu. Dan untuk itu, dia harus memetakan keberadaan mesjid. Hal ini merupakan sebuah prestasi besar dalam hidup Si Ibu Guru, karena sewaktu di Jakarta, dia bukanlah sosok yang akrab dengan mesjid, sama sekali bukan. Mengingat, ketika masih berada di Jakarta, walaupun kediaman ibu ini dekat sekali dengan mesjid, tinggal ngesot saja sampai. Namun Si Ibu ini sangat malas pergi ke mesjid. Bahkan di bulan Ramadhan saja, sahabatnya harus “menyeret”nya ke mesjid, barulah dia mau mendatangi mesjid. Jika tidak dipaksa, dia akan lebih memilih sholat di rumah. Justifikasi andalannya adakah “Perempuan Lebih Baik Sholat di Rumah, Lebih Banyak Pahalanya.” Setidaknya itulah yang dia ingat dari semua ceramah ustad yang dia dengar dari TV. Padahal, alasan yang sebenarnya tentu saja karena dia malas, malas jalan, malas keluar kamar, itu saja, meski itu hanya untuk ke mesjid. Dan biasanya, ketika frekuensi kunjungan Si Ibu mulai meningkat ke mesjid, itu pertanda bahwa dia sedang mengalami kegalauan level tinggi, dan stok teman curhatnya telah habis, makanya dia meratap di mesjid, memohon ampunan dan pertolongan Tuhan, langsung di rumahNya.

Beruntungnya, kedatangan Ibu Guru itu di Kampung Offie bersamaan dengan bulan Ramadhan. Jadi mesjid sangat meriah setiap malamnya. Kebiasaan di kampung ini; sholat Jamaah hanya terjadi saat Maghrib dan Isya’ saja, sehingga Sholat Taraweh merupakan bonus spesial setiap tahunnya. Itulah sebabnya anak-anak di kampung ini hanya mengenal sholat wajib 2 waktu saja; Maghrib dan Isya’. Menyaksikan kemeriahan mesjid kampung di kala Ramadhan itu, Si Ibu Guru menjadi lebih bersemangat untuk menunaikan panggilan sholat taraweh di mesjid. Komitmennya untuk memperbaiki hubungannya dengan mesjid, khususnya selama berada di kampung itu, kian menguat. Dia telah benar-benar berniat untuk lebih intens berkunjung ke mesjid.
Tetapi, tak berapa lama, Si Ibu mulai galau dengan komitmennya itu. Dia mulai gentar dengan berbagai tantangan yang ada di antara dia dan mesjid. Pertama; lokasi mesjid itu jauh (sebenarnya jauh sekali, untuk ukuran Si Ibu). Saking jauhya suara adzan Maghrib dari mesjid itu tidak terdengar sampai ke rumah kediamanannya. Kedua; jalanan menuju mesjid itu sangat gelap, tanpa penerangan sama sekali, zero cahaya listrik ataupun pelita, serta melewati hutan. Dan yang ketiga, yang paling parah; perjalanan ke mesjid itu harus melintasi komplek tanah kuburan. Kuburannya besar-besar, dengan nisan-nisan kayu yang tinggi, di bawah naungan pohon-pohon besar pula. Model kuburan yang tidak pernah Si Ibu lihat sebelumnya. Kuburan buatan masyarakat asli Papua Offie. Parahnya lagi, tentu saja perjalanan menuju mesjid itu harus dia tempuh dengan berjalan kaki. Lengkaplah sudah intimidasinya!

Oh Tuhan, mesjid yang dekat dan terang benderang di Jakarta saja bukan main susahnya untuk dikunjungi oleh Si Ibu Guru. Dan sekarang, mesjidnya jauh dengan segala tantangan yang ada. Lalu, apa yang akan dilakukan Si Ibu Guru? Apakah dia akan menyerah dan kembali mengurungkan niatnya ke mesjid?

Ternyata tidak, Si Ibu Guru tidak menyerah semudah itu. Dia berani mengambil resiko untuk tetap mendatangi mesjid. Tapi, hanya 3 hari, ya 3 hari saja. Perjuangannya mendatangi mesjid kampung itu hanya bertahan 3 kali taraweh jamaah, selama kalender Ramadhan. Takut gelap, terintimidasi oleh kuburan, dan capek berjalan jauh menjadi alasan yang menjustifikasi berakhirnya perjuangan Si Ibu Guru ke mesjid di hari ke-3. Bahkan, kandasnya perjuangan Si Ibu Guru ke mesjid juga didukung oleh anak-anaknya. Anak-anaknya merasa iba kepada Si Ibu Guru yang selalu menampakkkan ekspresi ketakutan dan kepanikan tiap kali melintasi kuburan dan jalanan gelap itu. Oleh karena itu, setelah 3 hari tersebut, Si Ibu tidak pernah hadir di mesjid itu lagi. Dia baru kembali mengunjungi mesjid itu pada akhir Ramadhan, untuk sholat Idul Fitri, di pagi hari.

Untungnya sepanjang Ramadhan, kampung itu sedang didatangi oleh ustad dari Jawa, dalam program Safari Ramadhan pesantrennya. Dari penuturan anak-anaknya di sekolah, Si Ibu Guru tahu bahwa anak-anak sangat suka dengan sosok Si Ustad, yang katanya; selain ganteng juga baik hati, tidak pernah memukul. Si Ibu Guru lega, setidaknya, walaupun Ibu Guru absen ke mesjid, tapi anak-anaknya tetap rajin ke mesjid berkat adanya Si Ustad. Setiap hari di sekolah, setelah belajar Bahasa Inggris dan Kelas Kerajinan, anak-anak selalu menceritakan kepada Si Ibu Guru apa saja yang mereka pelajari dari Si Ustad di mesjid. Mereka mengaji dan sholat taraweh bareng, itulah cerita yang selalu mereka ulang setiap hari. Dan kadangkala, cerita itu diselingi dengan candaan menggoda bahwa “Si Ustad suka tanya-tanya soal Si Ibu Guru” (What?). Namun cerita ini tetap saja tidak menggugah Ibu Guru untuk kembali ke mesjid. Bayangan kuburan dan gulitanya malam masih menghantuinya.

Lalu, Ramadhan pun usai, Si Ustad pulang ke Jawa, tugasnya sudah selesai. Dan Ibu Guru itu pun tahu bahwa efek dari kepulangan Si Ustad adalah vakumnya aktivitas anak-anaknya di mesjid. Tidak ada lagi sosok yang membuat anak-anak semangat berbondong-bondong sholat Maghrib, Isya’, dan mengaji malam di Mesjid. Artinya mesjid akan kembali sepi seperti sebelum Ramadhan. Tapi, Ibu Guru tidak terlalu memikirkan soal itu. Ibu itu berpendapat bahwa seharusnya anak-anak memiliki self-motivation untuk ke mesjid, walaupun tanpa ajakan darinya ataupun Si Ustad lagi. ‘Kan mereka sudah dibiasakan ke mesjid selama Bulan Ramadhan, pikir Si Ibu. Apalagi, setelah Ramadhan, 2 TPA kampung kembali diaktifkan. Anak-anak kembali belajar mengaji di rumah Bapak Imam dan Mama Guru Mengaji mereka. Jadi, lepas sudah kewajiban Si Ibu Guru untuk mengajar anak-anaknya mengaji di mesjid. Demikianlah alibi rekaan Si Ibu Guru.

Tentu saja alibi rekaan Si Ibu Guru itu ngawur adanya. Sehabis Ramadhan, mesjid benar-benar sepi total. Hanya bapak-bapak imam yang masih rajin sholat di sana. Anak-anak hanya menunaikan kewajiban mereka untuk belajar mengaji di TPA, tetapi melupakan kewajiban mereka untuk sholat Maghrib dan Isya’ di mesjid. Walaupun mengetahui hal itu, Si Ibu Guru belum juga tergugah hatinya untuk mengambil alih posisi Si Ustad sebagai Duta Mesjid. Takut gelap, takut kuburan, dan capek berjalan jauh tentu saja masih menghantuinya.

Sampai suatu ketika, ibu itu ditimpa masalah. Dia sedih sekali. Dia tidak bisa curhat ke siapa-siapa. Semua teman curhatnya tertinggal di Jakarta. Zero signal juga tentunya menjadi kendala. Dia mulai merasa sendiri, sangat sendiri. Dan saat itulah, mesjid menjadi sangat dirindukan olehnya. Sholat di rumah terasa tidak cukup. Dia ingat mesjid. Dia ingin sekali ke sana, untuk segera mengadu kepada Tuhannya. Menempuh jarak yang jauh, berjalan kaki dalam gulitanya malam, dan melintasi kuburan, dia lakukan semuanya tanpa keluhan. Kali ini, dia lakukan semuanya tanpa ketakutan.

Dan akhirnya, Si Ibu Guru sampai di depan mesjid. Dia tiba di sana bahkan sebelum adzan Maghrib tiba. Benar saja, mesjid sepi sekali. Si Ibu guru mulai memikirkan keberadaan anak-anaknya. Maka, dia pun mulai berjalan keluar mesjid untuk mencari anak-anaknya untuk sholat Maghrib bersama. Dan, betapa terkejutnya dia, mendapati anak-anaknya, yang menjelang waktu Maghrib masih duduk-duduk di jalanan. Mereka bermain tanah, berguling-guling di rumput, baju kumal, dan Tuhan, mereka belum mandi sore. Padahal, seingat Si Ibu Guru, saat di bulan Ramadhan lalu, setiap sebelum Maghrib, anak-anaknya sudah mandi dan memakai busana muslim dan baju koko terbaik mereka. Mereka selalu siap untuk sholat ke mesjid. Sekarang, kebiasaan itu ternyata telah hilang. Anak-anak itu telah kehilangan semangatnya untuk mandi sore. Mereka tidak lagi peduli pada waktu Maghrib dan adzannya. Mereka telah kehilangan semangatnya untuk sholat di mesjid karena baik Pak Ustad maupun Ibu Guru tidak lagi hadir di mesjid. Tuhan, saat itu juga hati ibu itu terasa begitu sakit, seolah ditusuk dengan sangat keras, ditusuk oleh rasa malu dan bersalah. Dia menangis dalam diam.

Ibu Guru merasa begitu bersalah karena sudah begitu lama dia meninggalkan anak-anaknya terjauhkan dari mesjid. Anak-anak yang masih sangat butuh keberadaan sosok role model yang mendekatkan mereka dengan kehidupan mesjid. Sosok yang seharusnya selama ini terjelma dalam diri Si Ibu Guru.

“Ibu mo pi mana?” (Ibu mau pergi kemana?), pertanyaan seorang anaknya memecah lamunan Si Ibu Guru. “Ibu mo pi sholat, Nak. Sholat Maghrib di mesjid. Kamu ikut ya...” Si Ibu Guru mengajak anak itu dengan suara yang ditegar-tegarkan. “Yee, sholat! Katong pi mandi dulu ya, Bu, dan angkat katong pu talkum” (Saya mandi dulu ya, Bu, dan ambil mukenah)” seru anak itu. “Iya, cepat sudah, ajak teman-teman yang lain juga ya...” pinta Si Ibu lirih.

Dan akhirnya, setelah percakapan singkat itu, Si Ibu Guru dengan langkah gontai masuk ke mesjid, terduduk lesuh, tertunduk beristighfar... menunggu kedatangan anak-anaknya.
Tak lama kemudian, bersamaan dengan suara adzan Maghrib, terdengarlah deruan langkah kecil berlomba-lomba menaiki tangga mesjid. Pada Maghrib itu juga, anak-anaknya kembali bergerombol meramaikan mesjid. Mereka menemani Si Ibu Guru untuk menunaikan sholat maghribnya yang penuh dengan pelajaran. Itu adalah Sholat Maghrib Jamaah pertama mereka setelah sekian lama Ramadhan usai. Sujud di antara barisan shaf anak-anaknya semakin membuat ibu itu tidak bisa menahan air matanya, dia terisak di bawah sujud. “Tuhan, ampuni aku...”, bisiknya lirih. Dan sejak Maghrib itu juga, Si Ibu Guru berjanji bahwa dia akan rajin ke Mesjid, beribadah bersama anak-anaknya.

Dan benar saja, sejak Si Ibu Guru rajin ke mesjid, anak-anaknya kembali bersemangat ke mesjid. Setiap sebelum senja, anak-anaknya sudah pulang ke rumah untuk mandi, dan mereka siap memakai busana muslim terbaik mereka. Anak-anak perempuan menyembunyikan rambut keriting cantik mereka di dalam lindungan jilbab berwarna-warni. Sedangkan yang laki-laki mengenakan baju koko dan songkok di kepala mereka. Tidak ada lagi yang keluyuran di jalanan saat Maghrib maupun Isya’.

Kemudian, dengan tekad yang kuat, Si Ibu Guru pun mulai mempelajari Juz Amma lagi demi membantu anak-anaknya menghapal surat-surat pendek. Dia bertekad akan menjadi Guru Mengaji yang layak. Dan yang paling spesial, kini sehabis mengaji surat-surat pendek, Ibu Guru memimpin anak-anaknya untuk melantunkan lagu-lagu shalawat sambil menabuh rebana yang harmoninya memecah malam gelap kampung Offie. Ibu Guru itu, tidak pernah galau lagi, dia bahkan telah lupa dengan segala masalah dan keluhan pribadinya. Sekarang dia menjadi sosok yang jauh lebih bahagia, lebih berani menghadapi gelap ataupun kuburan, dan tentunya lebih lancar mengaji. Bahkan, yang lebih ajaibnya lagi, Si Ibu yang sebelumnya selalu percaya bahwa “dia TIDAK bisa menyanyi”, kini malah percaya diri memimpin grup kasidah anak-anaknya di kampung. Untuk pertama kali dalam hidup Si Ibu Guru, dia berani bernyanyi di depan orang lain, secara sadar. Dan itu adalah tanda pahala anak-anaknya, yang terus menerus meyakinkan Si Ibu Guru bahwa suaranya bagus, dan layak memimpin grup kasidah yang baru saja mereka bentuk.

Untuk kesekian kalinya, Si Ibu Guru kembali diusik oleh pertanyaan; siapa sebenarnya yang lebih banyak mengajar? Si Ibu Guru atau Anak-anaknya? Dan siapa yang sebenarnya menginspirasi? Si Ibu Guru atau Anak-anaknya? Dan dia malu menjawabnya.


***************************

“Ya Allah, Tuhanku, terima kasih masih memberiku kesempatan untuk menjadi manusia yang lebih baik...”


“Terima kasih untuk membawaku pada mereka...”

“Ampuni aku Tuhan, yang sering lupa bersyukur dan terlalu banyak mementingkan diri sendiri...”

-Yenni Triani, Catatan Refleksi 3 Bulan di Tanah Papua-

Total of Views

Thank You For Visiting Me