Welcome To My Castle


Welcome To My Gratitude Journal

Yenni Triani and Her Life Story

About Me

My photo
Melbourne, Australia
I am a storyteller. A dreamer. A healer. A bibliophile who loves reading poetry, biography, memoirs and obituary. A passionate English Teacher. An LPDP Scholarship Awardee @MonashUniversityAustralia, A former voluntary teacher representing @IndonesiaMengajar in Fakfak, West Papua in 2014-2015. I want to build my own English School for my indigenous students in Fakfak, West Papua, someday. Inshaa Allah. It's going to be my masterpiece and my future legacy. Bismillah. #EnglishForPapua

Sunday, September 21, 2014

Ibu Guru, Mesjid, dan Anak-Anak Kampung Offie

Ini cerita tentang seorang ibu guru, ibu guru dari Jakarta. Ibu guru ini mengenakan jilbab cukup panjang, sehingga jika dinilai dari tampilan luarnya, harusnya dia cukup proper untuk didaulat sebagai “Guru Mengaji” bagi anak-anaknya.

Ibu guru ini ditugaskan di sebuah Kampung Islam, Kampung Offie namanya, di sebuah sudut pedalaman tanah Papua. Sejak hari pertama dia diberitakan akan ditugaskan di kampung itu, dia sudah tahu bahwa selain menjadi guru di sekolah, dia pasti juga akan berperan sebagai “Guru Mengaji”. Tapi bukannya senang, Si Ibu Guru malah gentar. Dia merasa bahwa dia belum selayak itu untuk dinobatkan sebagai Guru Mengaji. Mengingat, ibu itu hanya sholat 5 waktu saja, dan itu pun jarang yang on time. Apalagi kecakapan ibu itu dalam mengaji juga jauh dari mumpuni. Bahkan tidak semua surat-surat pendek dalam Juz Amma dia hapal. Seingatnya, terakhir kali dia menghapal Juz Amma itu sudah lama sekali. Tepatnya ketika masih di TPA, belasan tahun lalu. Makanya sudah lupa. Itulah sebabnya ketika sholat, surat Al Ikhlas dan An Nas menjadi bacaan favoritnya. Nah sekarang, Si Ibu Guru jenis ini harus menjadi Guru Mengaji, what a catastrophy!

Namun, ketika tiba pertama kali di kampung penugasannya, hal pertama yang ibu guru itu cari adalah keberadaan mesjid. Tempat yang biasanya dijadikan pusat belajar Al Qur’an bagi anak-anak Kampung Offie, selain di TPA. Walaupun dengan berbagai keterbatasan pengetahuan keagamaannya, Ibu Guru ini bertekad bahwa dia akan mencoba menjalankan peran barunya sebagai Guru Mengaji dengan seoptimal mungkin. Semangatnya membara kala itu. Dan untuk itu, dia harus memetakan keberadaan mesjid. Hal ini merupakan sebuah prestasi besar dalam hidup Si Ibu Guru, karena sewaktu di Jakarta, dia bukanlah sosok yang akrab dengan mesjid, sama sekali bukan. Mengingat, ketika masih berada di Jakarta, walaupun kediaman ibu ini dekat sekali dengan mesjid, tinggal ngesot saja sampai. Namun Si Ibu ini sangat malas pergi ke mesjid. Bahkan di bulan Ramadhan saja, sahabatnya harus “menyeret”nya ke mesjid, barulah dia mau mendatangi mesjid. Jika tidak dipaksa, dia akan lebih memilih sholat di rumah. Justifikasi andalannya adakah “Perempuan Lebih Baik Sholat di Rumah, Lebih Banyak Pahalanya.” Setidaknya itulah yang dia ingat dari semua ceramah ustad yang dia dengar dari TV. Padahal, alasan yang sebenarnya tentu saja karena dia malas, malas jalan, malas keluar kamar, itu saja, meski itu hanya untuk ke mesjid. Dan biasanya, ketika frekuensi kunjungan Si Ibu mulai meningkat ke mesjid, itu pertanda bahwa dia sedang mengalami kegalauan level tinggi, dan stok teman curhatnya telah habis, makanya dia meratap di mesjid, memohon ampunan dan pertolongan Tuhan, langsung di rumahNya.

Beruntungnya, kedatangan Ibu Guru itu di Kampung Offie bersamaan dengan bulan Ramadhan. Jadi mesjid sangat meriah setiap malamnya. Kebiasaan di kampung ini; sholat Jamaah hanya terjadi saat Maghrib dan Isya’ saja, sehingga Sholat Taraweh merupakan bonus spesial setiap tahunnya. Itulah sebabnya anak-anak di kampung ini hanya mengenal sholat wajib 2 waktu saja; Maghrib dan Isya’. Menyaksikan kemeriahan mesjid kampung di kala Ramadhan itu, Si Ibu Guru menjadi lebih bersemangat untuk menunaikan panggilan sholat taraweh di mesjid. Komitmennya untuk memperbaiki hubungannya dengan mesjid, khususnya selama berada di kampung itu, kian menguat. Dia telah benar-benar berniat untuk lebih intens berkunjung ke mesjid.
Tetapi, tak berapa lama, Si Ibu mulai galau dengan komitmennya itu. Dia mulai gentar dengan berbagai tantangan yang ada di antara dia dan mesjid. Pertama; lokasi mesjid itu jauh (sebenarnya jauh sekali, untuk ukuran Si Ibu). Saking jauhya suara adzan Maghrib dari mesjid itu tidak terdengar sampai ke rumah kediamanannya. Kedua; jalanan menuju mesjid itu sangat gelap, tanpa penerangan sama sekali, zero cahaya listrik ataupun pelita, serta melewati hutan. Dan yang ketiga, yang paling parah; perjalanan ke mesjid itu harus melintasi komplek tanah kuburan. Kuburannya besar-besar, dengan nisan-nisan kayu yang tinggi, di bawah naungan pohon-pohon besar pula. Model kuburan yang tidak pernah Si Ibu lihat sebelumnya. Kuburan buatan masyarakat asli Papua Offie. Parahnya lagi, tentu saja perjalanan menuju mesjid itu harus dia tempuh dengan berjalan kaki. Lengkaplah sudah intimidasinya!

Oh Tuhan, mesjid yang dekat dan terang benderang di Jakarta saja bukan main susahnya untuk dikunjungi oleh Si Ibu Guru. Dan sekarang, mesjidnya jauh dengan segala tantangan yang ada. Lalu, apa yang akan dilakukan Si Ibu Guru? Apakah dia akan menyerah dan kembali mengurungkan niatnya ke mesjid?

Ternyata tidak, Si Ibu Guru tidak menyerah semudah itu. Dia berani mengambil resiko untuk tetap mendatangi mesjid. Tapi, hanya 3 hari, ya 3 hari saja. Perjuangannya mendatangi mesjid kampung itu hanya bertahan 3 kali taraweh jamaah, selama kalender Ramadhan. Takut gelap, terintimidasi oleh kuburan, dan capek berjalan jauh menjadi alasan yang menjustifikasi berakhirnya perjuangan Si Ibu Guru ke mesjid di hari ke-3. Bahkan, kandasnya perjuangan Si Ibu Guru ke mesjid juga didukung oleh anak-anaknya. Anak-anaknya merasa iba kepada Si Ibu Guru yang selalu menampakkkan ekspresi ketakutan dan kepanikan tiap kali melintasi kuburan dan jalanan gelap itu. Oleh karena itu, setelah 3 hari tersebut, Si Ibu tidak pernah hadir di mesjid itu lagi. Dia baru kembali mengunjungi mesjid itu pada akhir Ramadhan, untuk sholat Idul Fitri, di pagi hari.

Untungnya sepanjang Ramadhan, kampung itu sedang didatangi oleh ustad dari Jawa, dalam program Safari Ramadhan pesantrennya. Dari penuturan anak-anaknya di sekolah, Si Ibu Guru tahu bahwa anak-anak sangat suka dengan sosok Si Ustad, yang katanya; selain ganteng juga baik hati, tidak pernah memukul. Si Ibu Guru lega, setidaknya, walaupun Ibu Guru absen ke mesjid, tapi anak-anaknya tetap rajin ke mesjid berkat adanya Si Ustad. Setiap hari di sekolah, setelah belajar Bahasa Inggris dan Kelas Kerajinan, anak-anak selalu menceritakan kepada Si Ibu Guru apa saja yang mereka pelajari dari Si Ustad di mesjid. Mereka mengaji dan sholat taraweh bareng, itulah cerita yang selalu mereka ulang setiap hari. Dan kadangkala, cerita itu diselingi dengan candaan menggoda bahwa “Si Ustad suka tanya-tanya soal Si Ibu Guru” (What?). Namun cerita ini tetap saja tidak menggugah Ibu Guru untuk kembali ke mesjid. Bayangan kuburan dan gulitanya malam masih menghantuinya.

Lalu, Ramadhan pun usai, Si Ustad pulang ke Jawa, tugasnya sudah selesai. Dan Ibu Guru itu pun tahu bahwa efek dari kepulangan Si Ustad adalah vakumnya aktivitas anak-anaknya di mesjid. Tidak ada lagi sosok yang membuat anak-anak semangat berbondong-bondong sholat Maghrib, Isya’, dan mengaji malam di Mesjid. Artinya mesjid akan kembali sepi seperti sebelum Ramadhan. Tapi, Ibu Guru tidak terlalu memikirkan soal itu. Ibu itu berpendapat bahwa seharusnya anak-anak memiliki self-motivation untuk ke mesjid, walaupun tanpa ajakan darinya ataupun Si Ustad lagi. ‘Kan mereka sudah dibiasakan ke mesjid selama Bulan Ramadhan, pikir Si Ibu. Apalagi, setelah Ramadhan, 2 TPA kampung kembali diaktifkan. Anak-anak kembali belajar mengaji di rumah Bapak Imam dan Mama Guru Mengaji mereka. Jadi, lepas sudah kewajiban Si Ibu Guru untuk mengajar anak-anaknya mengaji di mesjid. Demikianlah alibi rekaan Si Ibu Guru.

Tentu saja alibi rekaan Si Ibu Guru itu ngawur adanya. Sehabis Ramadhan, mesjid benar-benar sepi total. Hanya bapak-bapak imam yang masih rajin sholat di sana. Anak-anak hanya menunaikan kewajiban mereka untuk belajar mengaji di TPA, tetapi melupakan kewajiban mereka untuk sholat Maghrib dan Isya’ di mesjid. Walaupun mengetahui hal itu, Si Ibu Guru belum juga tergugah hatinya untuk mengambil alih posisi Si Ustad sebagai Duta Mesjid. Takut gelap, takut kuburan, dan capek berjalan jauh tentu saja masih menghantuinya.

Sampai suatu ketika, ibu itu ditimpa masalah. Dia sedih sekali. Dia tidak bisa curhat ke siapa-siapa. Semua teman curhatnya tertinggal di Jakarta. Zero signal juga tentunya menjadi kendala. Dia mulai merasa sendiri, sangat sendiri. Dan saat itulah, mesjid menjadi sangat dirindukan olehnya. Sholat di rumah terasa tidak cukup. Dia ingat mesjid. Dia ingin sekali ke sana, untuk segera mengadu kepada Tuhannya. Menempuh jarak yang jauh, berjalan kaki dalam gulitanya malam, dan melintasi kuburan, dia lakukan semuanya tanpa keluhan. Kali ini, dia lakukan semuanya tanpa ketakutan.

Dan akhirnya, Si Ibu Guru sampai di depan mesjid. Dia tiba di sana bahkan sebelum adzan Maghrib tiba. Benar saja, mesjid sepi sekali. Si Ibu guru mulai memikirkan keberadaan anak-anaknya. Maka, dia pun mulai berjalan keluar mesjid untuk mencari anak-anaknya untuk sholat Maghrib bersama. Dan, betapa terkejutnya dia, mendapati anak-anaknya, yang menjelang waktu Maghrib masih duduk-duduk di jalanan. Mereka bermain tanah, berguling-guling di rumput, baju kumal, dan Tuhan, mereka belum mandi sore. Padahal, seingat Si Ibu Guru, saat di bulan Ramadhan lalu, setiap sebelum Maghrib, anak-anaknya sudah mandi dan memakai busana muslim dan baju koko terbaik mereka. Mereka selalu siap untuk sholat ke mesjid. Sekarang, kebiasaan itu ternyata telah hilang. Anak-anak itu telah kehilangan semangatnya untuk mandi sore. Mereka tidak lagi peduli pada waktu Maghrib dan adzannya. Mereka telah kehilangan semangatnya untuk sholat di mesjid karena baik Pak Ustad maupun Ibu Guru tidak lagi hadir di mesjid. Tuhan, saat itu juga hati ibu itu terasa begitu sakit, seolah ditusuk dengan sangat keras, ditusuk oleh rasa malu dan bersalah. Dia menangis dalam diam.

Ibu Guru merasa begitu bersalah karena sudah begitu lama dia meninggalkan anak-anaknya terjauhkan dari mesjid. Anak-anak yang masih sangat butuh keberadaan sosok role model yang mendekatkan mereka dengan kehidupan mesjid. Sosok yang seharusnya selama ini terjelma dalam diri Si Ibu Guru.

“Ibu mo pi mana?” (Ibu mau pergi kemana?), pertanyaan seorang anaknya memecah lamunan Si Ibu Guru. “Ibu mo pi sholat, Nak. Sholat Maghrib di mesjid. Kamu ikut ya...” Si Ibu Guru mengajak anak itu dengan suara yang ditegar-tegarkan. “Yee, sholat! Katong pi mandi dulu ya, Bu, dan angkat katong pu talkum” (Saya mandi dulu ya, Bu, dan ambil mukenah)” seru anak itu. “Iya, cepat sudah, ajak teman-teman yang lain juga ya...” pinta Si Ibu lirih.

Dan akhirnya, setelah percakapan singkat itu, Si Ibu Guru dengan langkah gontai masuk ke mesjid, terduduk lesuh, tertunduk beristighfar... menunggu kedatangan anak-anaknya.
Tak lama kemudian, bersamaan dengan suara adzan Maghrib, terdengarlah deruan langkah kecil berlomba-lomba menaiki tangga mesjid. Pada Maghrib itu juga, anak-anaknya kembali bergerombol meramaikan mesjid. Mereka menemani Si Ibu Guru untuk menunaikan sholat maghribnya yang penuh dengan pelajaran. Itu adalah Sholat Maghrib Jamaah pertama mereka setelah sekian lama Ramadhan usai. Sujud di antara barisan shaf anak-anaknya semakin membuat ibu itu tidak bisa menahan air matanya, dia terisak di bawah sujud. “Tuhan, ampuni aku...”, bisiknya lirih. Dan sejak Maghrib itu juga, Si Ibu Guru berjanji bahwa dia akan rajin ke Mesjid, beribadah bersama anak-anaknya.

Dan benar saja, sejak Si Ibu Guru rajin ke mesjid, anak-anaknya kembali bersemangat ke mesjid. Setiap sebelum senja, anak-anaknya sudah pulang ke rumah untuk mandi, dan mereka siap memakai busana muslim terbaik mereka. Anak-anak perempuan menyembunyikan rambut keriting cantik mereka di dalam lindungan jilbab berwarna-warni. Sedangkan yang laki-laki mengenakan baju koko dan songkok di kepala mereka. Tidak ada lagi yang keluyuran di jalanan saat Maghrib maupun Isya’.

Kemudian, dengan tekad yang kuat, Si Ibu Guru pun mulai mempelajari Juz Amma lagi demi membantu anak-anaknya menghapal surat-surat pendek. Dia bertekad akan menjadi Guru Mengaji yang layak. Dan yang paling spesial, kini sehabis mengaji surat-surat pendek, Ibu Guru memimpin anak-anaknya untuk melantunkan lagu-lagu shalawat sambil menabuh rebana yang harmoninya memecah malam gelap kampung Offie. Ibu Guru itu, tidak pernah galau lagi, dia bahkan telah lupa dengan segala masalah dan keluhan pribadinya. Sekarang dia menjadi sosok yang jauh lebih bahagia, lebih berani menghadapi gelap ataupun kuburan, dan tentunya lebih lancar mengaji. Bahkan, yang lebih ajaibnya lagi, Si Ibu yang sebelumnya selalu percaya bahwa “dia TIDAK bisa menyanyi”, kini malah percaya diri memimpin grup kasidah anak-anaknya di kampung. Untuk pertama kali dalam hidup Si Ibu Guru, dia berani bernyanyi di depan orang lain, secara sadar. Dan itu adalah tanda pahala anak-anaknya, yang terus menerus meyakinkan Si Ibu Guru bahwa suaranya bagus, dan layak memimpin grup kasidah yang baru saja mereka bentuk.

Untuk kesekian kalinya, Si Ibu Guru kembali diusik oleh pertanyaan; siapa sebenarnya yang lebih banyak mengajar? Si Ibu Guru atau Anak-anaknya? Dan siapa yang sebenarnya menginspirasi? Si Ibu Guru atau Anak-anaknya? Dan dia malu menjawabnya.


***************************

“Ya Allah, Tuhanku, terima kasih masih memberiku kesempatan untuk menjadi manusia yang lebih baik...”


“Terima kasih untuk membawaku pada mereka...”

“Ampuni aku Tuhan, yang sering lupa bersyukur dan terlalu banyak mementingkan diri sendiri...”

-Yenni Triani, Catatan Refleksi 3 Bulan di Tanah Papua-

Thursday, July 31, 2014

Moment To Remember: Being Introduced To Mr. Vice President of Indonesia



It was in his palace, in lovely June, I was invited to meet this humble Indonesian prominent leader, Mr. Budiono, The Vice President of Indonesia.

I was not alone when presented in front of him, after a long queue, as I accidentally reunited with my former thesis advisor; Mr. Anies Baswedan. Another humble national leader who was -out of the blue- coming to personally introduce me to Mr. Budiono. I didn't expect to see him that afternoon. I didn't even know that Pak Anies was also scheduled to be there at the palace, at precisely the same time as me. What a coincidence! He has always been a celebrity, surrounded by his fans everywhere he went, so I didn't expect he would notice me.

Standing next to me, Pak Anies told Pak Budiono: "Pak Budi, this is Yenni. She is one of my best students in Paramadina and she will serve as a voluntary teacher in Papua. She speaks excellent English, even though she's never been to any English speaking country yet".
I was so surprised that he had time for making me feel so seen and special in front of Pak Budi. I felt deeply honoured. I was even blushing knowing that he could still recognize me in a room full of competitive young achievers. This very moment definitely became my favourite moment with Mr. Anies Baswedan by far. To me, Pak Anies has always been a mentor, a teacher, and someone I admire and respect greatly. Even my father is also one of his biggest fans. So, obviously, he's very special to our family.
Apart from that, Pak Budi was very warm and kind, as well, he treated me like his daughter. So, I felt so lucky. Alhamdulillah. 
I still couldn't believe that Pak Anies would give such a kind and sweet introduction about me in front of a top leader like Mr. Budiono. It was like a dream. But, dreams do come true, anyway. What a sweet surprise. Alhamdulillah.

Well, I do hope that in the near future I will have an opportunity to study and live in one of the English speaking countries, just like both Pak Anies and Pak Budi who have a PhD from The US. And recently, I just found out that Pak Budi even had a Master’s degree from Monash University, Australia, which is another coincidence, because I've always wanted to continue my master's degree there, as well. And I think I'm going there soon, Inshaa Allah. Australia will be a perfect destination for me to study a Master of TESOL, Inshaa Allah. Well, actually Australia and England have been my dream destinations since childhood. My plan is to go to Australia first, and later; England,  Inshaa Allah. 

It's so ironic knowing that I've been learning English my whole life since childhood. And I've been teaching it since I was 18. But, haven't got any chance to visit any native English speaking country yet. And I'm not even joking. 😂🤭📖✒️🌹So, Inshaa Allah, I'm coming to Australia soon, it will be my first time abroad. 

Wednesday, July 23, 2014

Profil Yenni Triani untuk Indonesia Mengajar

Yenni, gadis suku Sekayu kelahiran Palembang, merupakan sarjana Ilmu Politik dari Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Falsafah dan Peradaban. Yenni adalah penerima beasiswa penuh Paramadina-Bank BTPN Fellowship 2009. Pada akhir masa kuliahnya di Universitas Paramadina, Yenni dinobatkan sebagai Lulusan Terbaik Program Studi Hubungan Internasional, dengan predikat kelulusan Magna Cum Laude. Skripsi yang ditulisnya di bawah bimbingan Bpk. Anies Baswedan, berjudul; “Insiden Mavi Marmara dan Perubahan Kebijakan Luar Negeri Turki Terhadap Israel (2010-2012)”, juga dinobatkan sebagai skripsi terbaik.

Yenni yang senang terlibat dalam berbagai event nasional dan internasional pernah menjadi panitia untuk ASEAN Scout Jamboree 2008, Jamboree Nasional 2011, dan 14th Asian Physics Olympiad 2013. Semasa kuliah Yenni aktif menjadi guru volunteer untuk mengajar anak-anak jalanan dan anak-anak dari keluarga pra-sejahtera. 

Saat masih berstatus siswa SMK NEGERI 3 Palembang, pada tahun 2007, Yenni pernah menjuarai Lomba Keterampilan Siswa SMK Tingkat Nasional di bidang Pariwisata. Selain itu, Yenni yang juga sangat mencintai Bahasa Inggris ini telah berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris sejak masih berstatus siswa SMK. 

Yenni mengawali langkahnya dengan mengajar Bahasa Inggris di TOP Education Center pada 2005, ketika masih berusia 18 tahun. Selanjutnya, Yenni juga pernah mengajar Bahasa Inggris di Dolphin Language Center Palembang pada 2009. Sebelum bergabung bersama Indonesia Mengajar, Yenni sempat berkarir sebagai Guru Sekolah Dasar di Kinderfield Primary School Bekasi. Kini, Yenni tengah ditugaskan sebagai Pengajar Muda di Kabupaten Fakfak, Papua Barat selama 2014-2015.

Tuesday, July 22, 2014

Memulai Hidup Baru di Tanah Papua Sebagai Seorang Pengajar Muda


Tanggal 15 Juni 2014, untuk pertama kalinya kakiku menginjak tanah Papua. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa aku akan pergi sejauh ini, berada di sebuah tempat yang terletak di ujung timur Indonesia. Tapi kubulatkan tekadku untuk tetap menjangkau tempat ini, apapun resikonya, karena aku tahu bahwa ada banyak anak-anak Papua, para mutiara hitam yang sedang menungguku di kampung mereka. Mereka sedang menunggu seorang Ibu Guru, untuk belajar dan berbagi bersama mereka, dan itu adalah aku. Maka kubuang segala ketakutanku dan kekhawatiranku sebelum berangkat meninggalkan Jakarta. Aku yakin ini akan jadi sebuah perjalanan mulia yang direstui Tuhan dan orangtuaku. Ya Allah, aku datang ke Papua untuk mengajar dan berbagi kasih sayang dengan anak-anak Papua, sesuatu yang akan membuat hidupku bermanfaat dan berharga. Maka kuatkanlah aku, Tuhan...

Setelah menempuh perjalanan udara selama kurang lebih 6 jam dari Jakarta, dan sempat singgah di Ambon, akhirnya aku tiba di bandara Torea. Torea adalah sebuah bandara kecil di Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Memasuki kawasan bandara ini, aku takjub dengan pemandangan alamnya; laut biru, sebiru langitnya, membentang luas di hadapan bandara. Pesona keindahan ini membuatku mampu melupakan semua rasa pusing dan mual akibat rasa ketakutanku saat masih di dalam pesawat. Maklum aku sebenarnya takut ketinggian, dan ini kali pertama aku naik pesawat dengan rute jauh, lebih dari 5 jam. Sepanjang perjalanan udara; Alqur'an dan semua do'a membantuku melalui ketegangan di udara. Apalagi saat itu, aku terbang di tengah kondisi cuaca buruk, turbulensi menggentarkan nyaliku. Hanya do'a dan ayat-ayat Al Qur'an -yang tak henti-hentinya kulisankan- membuatku tetap berfikir positif bahwa perjalanan ini akan baik-baik saja. Dan Alhamdulillah, aku tiba dengan selamat di sini. 
Allahu Akbar... 

It was quite a journey, testing my adrenaline... 

But not long after that, all of my pains caused by the flight turbulence and anxiety were suddenly gone away somehow.
Alhamdulillah.

Setelah tiba di sini, aku istirahat beberapa hari di kota kabupaten Fakfak. Sebelum akhirnya kulanjutkan perjalanan darat, menembus hutan lebat dengan menumpang sebuah angkot, menuju sebuat tempat yang telah lama aku idam-idamkan: kampung penempatan.

Kampung penempatanku terletak di pinggir teluk, dengan tofografi alam berbukit-bukit, sebuah kombinasi yang hebat; laut dan bukit hijau. Kampung ini bernama Kampung Offie. Kutempuh 2 jam perjalanan darat untuk mencapai kampung ini. Saat tiba di sini pertama kali, aku telah disambut dengan senyum anak-anakku, anak-anak Papua dengan rambut keriting dan warna kulit eksotis mereka; para malaikat kecil yang selama ini hanya ada di bayanganku saja. Mereka sangat antusias bertemu denganku. Mereka memandangku tak henti-hentinya, yang membuatku merasa cantik, hehehe. 😂✌

Aku merasa menjadi pusat gravitasi di sini, kemanapun aku pergi, pasti selalu ada anak-anak di sekitarku, mereka mengikuti kemana pun aku melangkah. Segera, anak-anak ini mulai belajar menghafal namaku: Ibu Yenni. Tuhan aku bahagia sekali dipanggil Ibu, panggilan itu membuatku merasa seperti sosok penuh kasih yang sangat dicintai mereka. Setiap bertemu, anak-anakku selalu bersedia menerima jabatan tanganku tanpa malu-malu. Bahkan mereka dengan sangat antusias menciumi punggung-tanganku. Tuhan, ada rasa keharuan luar biasa setiap kali kugenggam tangan-tangan kecil mereka. Aku semakin bersyukur Tuhan mengirimku ke sini. Untuk pertama kalinya aku merasa begitu penting dan begitu berharga bagi orang lain. Aku begitu dicintai di sini. 

Di kampung inilah aku mulai melakukan tugasku sebagai seorang Pengajar Muda: guru sukarela. Namun sebagai seorang guru, aku tidak hanya mengajar di kelas. Tetapi aku juga merawat dan mendidik anak-anakku di luar kelas. Karena bagiku "Teaching is also parenting". Aku seorang guru, sekaligus ibu bagi anak-anakku. Dan hal ini membuat hidupku terasa sangat berbeda.

I feel so much alive here... 

Merawat mereka seolah mengalirkan energi kebahagiaan luar biasa kepadaku. Di sini, aku menjadi pribadi yang sangat bahagia, tak pernah satu hari pun kulewatkan tanpa tersenyum dan merasa bersyukur. 

Sepulang sekolah, kuajarkan anak-anakku cara cuci tangan dan mandi pakai sabun. Anak-anakku adalah anak-anak dengan potensi kinestetis yang luar biasa. Dalam sehari, mereka mampu melakukan berbagai petualangan. Mereka berburu cacing untuk memancing di laut, mencari kepiting di dalam lumpur, berlari naik turun bukit, bermain rumah-rumahan di hutan, berguling-guling di rerumputan. 

Mereka selalu penuh keringat dan berlumuran debu dan lumpur. Sayangnya, dengan kondisi itu, mereka tidak terbiasa mandi dan cuci tangan. Sehingga seringkali anak-anakku ini terjangkit penyakit kulit hingga ingusan. Aku tak mau membiarkan mereka terus menerus jauh dari kebiasaan hidup sehat. Untuk itu aku mulai memperkenalkan anak-anakku dengan kebiasaan cuci tangan dan mandi, terutama cuci tangan dan mandi pakai sabun.

Dari seringnya aktivitas cuci tangan dan mandi pakai sabun yang kami lakukan. Akhirnya anak-anakku mengatakan padaku bahwa sebenarnya mereka sangat suka mandi, apalagi mandi dengan menggunakan sabun. "Ibu, katong mo mandi pakai sabun, tapi sabun tarada". Sabun itu membuat mereka merasa wangi dan bersih. Tetapi apa daya, sabun di kampung sangat mahal harganya karena jumlahnya yang langka. Sehingga sulit bagi mereka untuk mendapatkan sabun, sulit bagi mereka untuk mandi pakai sabun. 

Menyaksikan hal ini, aku memutuskan untuk menyisihkan uangku untuk membeli sabun di kota. Sabun di kota jauh lebih murah, walaupun tidak semurah di Jawa atau Sumatera. Tapi tak apalah, kubeli saja semampuku agar aku dapat memandikan anak-anakku dengan sabun serutin mungkin. 

Ya Allah, Ya Tuhanku, kali ini do'aku sederhana: bantulah aku untuk mendapatkan lebih banyak sabun untuk mereka... 

Total of Views

Thank You For Visiting Me