Tanggal 15 Juni 2014, untuk pertama kalinya kakiku menginjak tanah Papua. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa aku akan pergi sejauh ini, berada di sebuah tempat yang terletak di ujung timur Indonesia. Tapi kubulatkan tekadku untuk tetap menjangkau tempat ini, apapun resikonya, karena aku tahu bahwa ada banyak anak-anak Papua, para mutiara hitam yang sedang menungguku di kampung mereka. Mereka sedang menunggu seorang Ibu Guru, untuk belajar dan berbagi bersama mereka, dan itu adalah aku. Maka kubuang segala ketakutanku dan kekhawatiranku sebelum berangkat meninggalkan Jakarta. Aku yakin ini akan jadi sebuah perjalanan mulia yang direstui Tuhan dan orangtuaku. Ya Allah, aku datang ke Papua untuk mengajar dan berbagi kasih sayang dengan anak-anak Papua, sesuatu yang akan membuat hidupku bermanfaat dan berharga. Maka kuatkanlah aku, Tuhan...
Setelah menempuh perjalanan udara selama kurang lebih 6 jam dari Jakarta, dan sempat singgah di Ambon, akhirnya aku tiba di bandara Torea. Torea adalah sebuah bandara kecil di Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Memasuki kawasan bandara ini, aku takjub dengan pemandangan alamnya; laut biru, sebiru langitnya, membentang luas di hadapan bandara. Pesona keindahan ini membuatku mampu melupakan semua rasa pusing dan mual akibat rasa ketakutanku saat masih di dalam pesawat. Maklum aku sebenarnya takut ketinggian, dan ini kali pertama aku naik pesawat dengan rute jauh, lebih dari 5 jam. Sepanjang perjalanan udara; Alqur'an dan semua do'a membantuku melalui ketegangan di udara. Apalagi saat itu, aku terbang di tengah kondisi cuaca buruk, turbulensi menggentarkan nyaliku. Hanya do'a dan ayat-ayat Al Qur'an -yang tak henti-hentinya kulisankan- membuatku tetap berfikir positif bahwa perjalanan ini akan baik-baik saja. Dan Alhamdulillah, aku tiba dengan selamat di sini.
Allahu Akbar...
It was quite a journey, testing my adrenaline...
But not long after that, all of my pains caused by the flight turbulence and anxiety were suddenly gone away somehow.
Alhamdulillah.
Setelah tiba di sini, aku istirahat beberapa hari di kota kabupaten Fakfak. Sebelum akhirnya kulanjutkan perjalanan darat, menembus hutan lebat dengan menumpang sebuah angkot, menuju sebuat tempat yang telah lama aku idam-idamkan: kampung penempatan.

Kampung penempatanku terletak di pinggir teluk, dengan tofografi alam berbukit-bukit, sebuah kombinasi yang hebat; laut dan bukit hijau. Kampung ini bernama Kampung Offie. Kutempuh 2 jam perjalanan darat untuk mencapai kampung ini. Saat tiba di sini pertama kali, aku telah disambut dengan senyum anak-anakku, anak-anak Papua dengan rambut keriting dan warna kulit eksotis mereka; para malaikat kecil yang selama ini hanya ada di bayanganku saja. Mereka sangat antusias bertemu denganku. Mereka memandangku tak henti-hentinya, yang membuatku merasa cantik, hehehe. 😂✌

Aku merasa menjadi pusat gravitasi di sini, kemanapun aku pergi, pasti selalu ada anak-anak di sekitarku, mereka mengikuti kemana pun aku melangkah. Segera, anak-anak ini mulai belajar menghafal namaku: Ibu Yenni. Tuhan aku bahagia sekali dipanggil Ibu, panggilan itu membuatku merasa seperti sosok penuh kasih yang sangat dicintai mereka. Setiap bertemu, anak-anakku selalu bersedia menerima jabatan tanganku tanpa malu-malu. Bahkan mereka dengan sangat antusias menciumi punggung-tanganku. Tuhan, ada rasa keharuan luar biasa setiap kali kugenggam tangan-tangan kecil mereka. Aku semakin bersyukur Tuhan mengirimku ke sini. Untuk pertama kalinya aku merasa begitu penting dan begitu berharga bagi orang lain. Aku begitu dicintai di sini.
Di kampung inilah aku mulai melakukan tugasku sebagai seorang Pengajar Muda: guru sukarela. Namun sebagai seorang guru, aku tidak hanya mengajar di kelas. Tetapi aku juga merawat dan mendidik anak-anakku di luar kelas. Karena bagiku "Teaching is also parenting". Aku seorang guru, sekaligus ibu bagi anak-anakku. Dan hal ini membuat hidupku terasa sangat berbeda.
I feel so much alive here...
Merawat mereka seolah mengalirkan energi kebahagiaan luar biasa kepadaku. Di sini, aku menjadi pribadi yang sangat bahagia, tak pernah satu hari pun kulewatkan tanpa tersenyum dan merasa bersyukur.
Sepulang sekolah, kuajarkan anak-anakku cara cuci tangan dan mandi pakai sabun. Anak-anakku adalah anak-anak dengan potensi kinestetis yang luar biasa. Dalam sehari, mereka mampu melakukan berbagai petualangan. Mereka berburu cacing untuk memancing di laut, mencari kepiting di dalam lumpur, berlari naik turun bukit, bermain rumah-rumahan di hutan, berguling-guling di rerumputan.
Mereka selalu penuh keringat dan berlumuran debu dan lumpur. Sayangnya, dengan kondisi itu, mereka tidak terbiasa mandi dan cuci tangan. Sehingga seringkali anak-anakku ini terjangkit penyakit kulit hingga ingusan. Aku tak mau membiarkan mereka terus menerus jauh dari kebiasaan hidup sehat. Untuk itu aku mulai memperkenalkan anak-anakku dengan kebiasaan cuci tangan dan mandi, terutama cuci tangan dan mandi pakai sabun.
Dari seringnya aktivitas cuci tangan dan mandi pakai sabun yang kami lakukan. Akhirnya anak-anakku mengatakan padaku bahwa sebenarnya mereka sangat suka mandi, apalagi mandi dengan menggunakan sabun. "Ibu, katong mo mandi pakai sabun, tapi sabun tarada". Sabun itu membuat mereka merasa wangi dan bersih. Tetapi apa daya, sabun di kampung sangat mahal harganya karena jumlahnya yang langka. Sehingga sulit bagi mereka untuk mendapatkan sabun, sulit bagi mereka untuk mandi pakai sabun.
Menyaksikan hal ini, aku memutuskan untuk menyisihkan uangku untuk membeli sabun di kota. Sabun di kota jauh lebih murah, walaupun tidak semurah di Jawa atau Sumatera. Tapi tak apalah, kubeli saja semampuku agar aku dapat memandikan anak-anakku dengan sabun serutin mungkin.
Ya Allah, Ya Tuhanku, kali ini do'aku sederhana: bantulah aku untuk mendapatkan lebih banyak sabun untuk mereka...